Bagaimana mungkin di tengah pandemi seperti saat ini pemerintah menggelontorkan dana dengan jumlah yang sangat bombastis hanya untuk jasa influencer. Pasti anda berpendapat bahwa dengan dana sebesar itu bisa digunakan untuk kepentingan lain yang bisa berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat.
Melihat kabar seperti ini siapa yang tidak naik tekanan darahnya karena selama pandemi ini masyarakat sering mengeluhkan keseriusan dan lambatnya penanganan dari pemerintah terkait pandemi covid 19. Dengan dana sebesar itu bukankah bisa digunakan untuk membantu masyarakat yang lebih membutuhkan.
Temuan dari ICW terkait dana sebesar itu tentu saja menggemparkan masyarakat indonesia. Semua orang mulai penasaran dengan kinerja pemerintah, buat apa kira-kira dan 90 miliar lebih yang katanya untuk jasa influencer tersebut. Dengan dalih untuk melakukan sosialisasi kebijakan publik tentunya kebijakan tersebut patut di pertanyakan.
Penggunaan Jasa Influencer Untuk Sosialisasi Kebijakan Publik Belum Efektif
Penggunaan jasa influencer untuk sosialisasi kebijakan publik telah dilakukan sejak tahun 2017 hingga saat ini. Namun apakah penggunaan influencer sebagai sebuah sarana untuk mensosialisasikan kebijakan publik bisa sesuai dengan tarif yang dikeluarkan oleh pemerintah, lalu apakah hasilnya juga signifikan.
Hingga saat ini hanya beberapa saja influencer yang bisa dengan jelas menyampaikan kebijakan publik sehingga mudah dipahami oleh masyarakat yang melihat konten dari influencer tersebut. Hal ini terjadi karena untuk menyampaikan sebuah kebijakan publik perlu pemahaman yang mendalam pada topik tersebut.
Bayangkan saja jika influencer yang bersangkutan tidak mengerti dan memahami secara mendalam dari kebijakan publik yang akan disampaikannya. Alih-alih menyebarkan informasi, justru pertanyaan dan kesalahpahaman informasi yang akan diterima oleh masyarakat dan ini tentunya tidak efektif untuk sebuah kegiatan sosialisasi.
Pada dasarnya sebuah kegiatan sosialisasi kebijakan publik adalah untuk menyebarkan dan memberitahukan informasi yang mudah dipahami kepada masyarakat tentang kebijakan publik apa yang akan dikeluarkan oleh pemerintah. Apabila influencer tersebut tidak bisa menyampaikan dengan mudah dan simpel tentu masyarakat akan mengalami kesulitan.
Dari segi efektifitas penyampaian konten saja penggunaan jasa influencer sudah terbilang kurang efektif, belum lagi dari jangkauan konten dari influencer tersebut. Belum tentu konten yang dibuat oleh influencer tersebut dilihat oleh seluruh masyarakat indonesia, dan ini tentunya akan menimbulkan masalah baru.
Bayangkan saja dalam sebuah lingkungan ada separuh orang yang melihat konten sosialisasi kebijakan pemerintah oleh influencer dan separuhnya lagi tidak melihat. Dari sini penyampaian kebijakan pemerintah dari mulut ke mulut oleh para tetangga lingkungan tersebut sudah bisa berbeda persepsi lagi.
Bayangkan apabila hanya segelintir orang saja dari sebuah lingkungan yang melihat konten tersebut, pasti akan lebih banyak salah tafsir karena perbedaan penyampaian. Katakanlah apabila tetangga lain dipertontonkan konten video misalnya dari tetangga yang melihat konten dari influencer tersebut.
Opini dan penafsiran dari pemirsa yang melihat dengan keinginan sendiri dan yang dipertontonkan oleh tetangganya tentunya akan berbeda. Disini saja kelemahan dari penggunaan jasa influencer sebagai sebuah media untuk menyebarkan kebijakan publik dinilai sangat tidak efektif.
Jika melihat dari negara lain yang juga melakukan sosialisasi kebijakan publik melalui media elektronik, mengapa tidak menggunakan format seperti iklan PSA (public service announcement) seperti yang ada di luar negeri. Satu buah iklan yang dibuat misalnya di televisi dengan waktu tayang pada jam-jam rating tinggi.
Jika hanya untuk mencari pemirsa saja hal ini akan lebih mudah dilakukan, kemudian informasi yang disampaikan tidak akan berubah persepsi karena pemerintah sendiri yang mengeluarkan narasi. Dengan begini konten PSA akan selaras dengan isi dari sosialisasi kebijakan publik yang diinginkan pemerintah.
Tanggapan Menkominfo Terkait Dana 90 Miliar Lebih
Menanggapi temuan ICW ini pihak menkominfo mengatakan bahwa anggaran dana sebesar 90 miliar lebih tersebut merupakan anggaran belanja untuk program coaching clinic of influencer yakni sebuah pelatihan yang dibuat oleh pemerintah untuk masyarakat yang ingin berprofesi menjadi influencer.
Menurut pihak menkominfo sendiri anggaran yang dikeluarkan juga tidak sebesar dari yang ditemukan oleh ICW. Anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk melakukan tutoring tersebut berkisar pada angka 10 miliar saja. Anggaran tersebut juga untuk tahun 2017 sampai tahun 2020.
Namun sayangnya banyak pihak yang meragukan statemen ini, program coaching clinic of influencer sendiri adalah program yang sangat tidak populer dan sedikit sekali masyarakat yang mengetahuinya. Entah program ini benar-benar program yang nyata dan dilakukan atau tidak tentunya membuat masyarakat semakin bertanya-tanya.
Dari statemen ini saja masyarakat bisa dibuat penasaran bagaimana mungkin ada program pelatihan yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan dana sebesar itu namun tidak banyak yang mengetahuinya. Jika memang benar program ini dilakukan bukankah program ini akan menjadi sorotan banyak pihak dan mendapatkan dukungan masyarakat.
Tahun 2017 sendiri profesi sebagai influencer adalah salah-satu yang menjadi incaran masyarakat, bagaimana mungkin berita tentang adanya pelatihan profesi influencer yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak menjadi trending di dunia maya dan mengundang antusias masyarakat banyak.
Jika memang pernah ada proyek pelatihan seperti ini bukankah sebaiknya hal ini dipublikasi dengan baik agar masyarakat yang benar-benar memiliki minat dan kemampuan di bidang ini bisa semakin diasah dan menghasilkan influencer yang berkualitas. Namun kabar ini baru ada tahun 2020 dan itupun dari temuan ICW.
Mengapa seolah-olah pemerintah selalu menutupi program yang sebenarnya bermanfaat untuk masyarakat banyak. Apakah ada pihak tertentu yang sengaja menghalangi publikasi agar informasi yang bermanfaat seperti ini hanya dimanfaatkan oleh segelintir orang saja yang memiliki kenalan orang dalam di pemerintahan.
Kasus dana bombastis yang digelontorkan pemerintah terhadap program yang sedikit diketahui masyarakat ini tidak menambah citra baik sama sekali terhadap wajah pemerintahan. Isu ini justru mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah di tengah hiruk pikuk pandemi yang menguras banyak emosi.
Jika memang program ini benar-benar berjalan setidaknya masyarakat bisa memahami bahwasanya masih ada masyarakat yang mendapatkan manfaat dari pelatihan yang diberikan oleh pemerintah. Jangan sampai program ini berakhir memiliki citra seperti program kartu pra kerja.
Sudah menjadi rahasia umum di masyarakat jika program kartu pra kerja adalah sebuah bantuan dana dari pemerintah belaka, sementara materi pelatihan yang diberikan oleh pemerintah adalah alasan ke sekian dari seseorang yang mendaftar kartu pra kerja tersebut, materi pelatihan program ini juga tidak terlalu menarik bagi masyarakat.
Niat baik pemerintah untuk memberikan pelatihan dan dana sepertinya tidak berjalan mulus karena pelatihan online yang diberikan sangat tidak efektif dan tidak menarik, juga banyak yang sudah basi. Rata-rata pendaftar hanya menginginkan dana bantuan yang menyertai pelatihan tersebut dan tidak berminat dengan materi pelatihan.
Dari sekian banyak program pemerintah yang patut dipertanyakan, mengapa harus di saat pandemi seperti ini. Mengapa pemerintah justru mengeluarkan dana yang besar untuk hal yang tidak efektif seperti jasa influencer. Entah bagaimana isu ini kedepannya, akankah menguap seperti isu negatif lainnya, sepertinya iya, kita tunggu saja.